Menuju Sistem Pertanian Organik

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pertanian di Indonesia berkembang sesuai dengan pengetahuan masyarakat. Pada awal mulanya, bercocok tanam dilakukan secara berpindah-pindah (swiden agriculture). Ladang dan hutan dibuka, lalu ditanami tanaman pokok seperti padi gogo, talas, ubi kayu, ubi jalar, dan sayuran. Tanaman tersebut belum diberi pupuk kandang atau pemeliharaan lainnya. Mulanya tanaman tumbuh subur, tetapi semakin lama, semakin merosot pula kesuburannya. Karena produksi menurun, petani berpindah ke tempat lain lalu membuka hutan kembali dan menanaminya. Ladang yang telah ditinggal begitu saja akan menjadi tandus, bahkan menjadi padang ilalang.
Sistem ladang berpindah tersebut kemudian berkembang menjadi sistem pertanian tradisional. Disebut pertanian tradisional karena pengelolaannya masih sederhana. Pengolahan tanah baru dilakukan saat musim hujan tiba. Sedangkan pada tanah tegalan, umumnya hanya ditanami satu jenis tanaman secara terus menerus dalam waktu yang sangat lama, sehingga menimbulkan masalah yang berupa berkurangnya kesuburan tanah, hasil panen merosot, serta hama dan penyakit berkembang dengan pesat dan tak terkendali. Pada tanah yang miring, kesuburannya menjadi cepat merosot dan terjadi banyak erosi karena tanahnya belum dibuat sistem terassering atau sengkedan.
Sebenarnya pertanian organik merupakan pertanian yang akrab dengan lingkungannya karena tidak memakai pestisida. Akan tetapi, produksinya tidak mampu menyaingi atau mengimbangi kebutuhan pangan penduduk yang terus bertambah. Untuk mengimbangi kebutuhan pangan tersebut, perlu diupayakan peningkatan produk yang kemudian berkembang sistem pertanian konvensional atau pertanian tradisional.
Pertanian organik mulai muncul di Indonsia pada 1984. Yayasan Bina Sarana Bakti mulai mengembangkannya di Bogor, tepatnya di Cisarua pada lahan seluas empat hektar. Setelah itu, sistem pertanian ini berkembang sangat pesat. Jenis tanaman yang ditanam secara organik pun tidak terbatas pada jenis tanaman sayuran saja, tetapi juga tanaman buah, walaupun tidak dalam skala seluas tanaman sayuran, tanaman padi maupun tanaman obat.
B. Permasalahan
Ada dua permasalahan utama yang akan dibahas dalam makalah ini, yaitu (1) bagaimana gambaran penggunaan pupuk organik dalam kehidupan masyarakat petani pada khususnya dan masyarakat lain pada umumnya; (2) apa dampak yang ditimbulkan selama ini dan bagaiman solusinya? Dari pertanyaan tersebut, penulis tergelitik untuk mengamati lebih dalam tentang sejauh mana penggunaan pupuk kimia yang merupakan musuh terbesar bagi pupuk organik.
C. Ruang Lingkup
Ruang lingkup makalah ini meliputi pengertian tentang beberapa pertanian yang telah dikenal masyarakat sejak zaman dahulu kala serta hal-hal yang berhubungan dengannya. Makalah ini ditulis berdasarkan penelitian lapangan di Desa Bulak, Kecamatan Rowosari, Kabupaten Kendal, Jawa Tengah. Penulis hanya membatasi pada analisis pertanian organik dan pertanian kimia.
D. Tujuan Penelitian
Tujuan utama penelitian ini adalah mendapatkan dua macam data sekaligus, yaitu data-data yang bersifat kualitatif dan kuantitatif mengenai tema penelitian di atas. Hasil yang diperoleh dapat dijadikan sebagai informasi untuk mengembangkan kualitas pangan di tingkat pusat (jangka panjang), dasar kebijakan pemerintah daerah (jangka menengah), dan masyarakat di Kecamatan Rowosari pada khususnya dan Kendal pada umumnya (jangka pendek). Selain itu, informasi tersebut juga dapat digunakan sebagai acuan pengambilan kebijakan politis tingkat pusat dan sebagai landasan untuk melakukan kegiatan-kegiatan yang bertema kepedulian lingkungan di Indonesia sebagai cara mengatasi kekurangan pangan di negeri tercinta ini.
E. Sasaran Penelitian
Sasaran penelitian ini adalah pihak-pihak yang terlibat dengan tema ataupun permasalahan yang diangkat dalam makalah, antara lain para petani yang bertindak aktif sebagai pelaku utama; instansi-instansi pemerintah terkait, seperti pemerintahan desa, kecamatan, dan kabupaten; dinas-dinas terkait, misalnya Dinas Pengairan dan Dinas Pertanian; dan lembaga-lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang bergerak di bidang pertanian.
F. Metode Penelitian
Metode yang digunakan penulis selama melakukan penelitian adalah wawancara untuk mendapatkan data-data yang bersifat kualitatif. Selain itu, penulis juga menggunakan sumber tertulis untuk mendapatkan informasi kuantitatif yang tidak mungkin diperoleh dari lapangan. Ada dua alasan mengapa penulis menerapkan metode tersebut. Pertama, sekolah penulis tidak memiliki perangkat laboratorium yang memadai untuk membantu proses penelitian, sehingga penerapan metode kuantitatif yang didasarkan pada hasil pengamatan laboratorium tidak mungkin dilakukan. Untuk mengatasinya, penulis menggali data–data kuantitatif dari para petani dan instansi-instansi yang berhubungan dengan bidang pertanian, walaupun dalam skala prioritas yang minim. Kedua, metode kualitatif bagi penulis lebih tepat sasaran, karena penulis dapat memahami latar belakang, proses, masalah faktual, dan keunggulan dampak penggunaan pupuk organik berdasarkan subjek yang terlibat, seperti petani, Dinas Pertanian, Dinas Pengairan, dan lain-lain. Oleh karena itu, dalam makalah ini metode kuantitatif hanya dianggap sebagai pelengkap beberapa data yang tidak dapat digambarkan dengan metode kualitatif.
Karena secara metodologis penelitian tentang pertanian organik sangat terkait dengan polutan pupuk kimia, maka penulis juga mengamati dan menghitung secara sederhana kuantitas pemakaian bahan-bahan pencemar yang dipakai dalam perbaikan mutu tanaman seperti, insektisida, herbisida, pestisida, dan pupuk anorganik yang dipakai oleh petani dalam periode satu tahun. Hasil pengamatan yang didapatkan penulis selanjutnya akan dianalisis berdasarkan informasi yang penulis kumpulkan dari literatur-literatur. Dengan demikian, meskipun tanpa didukung uji laboratorium, penulis mampu melakukan analisis tentang seberapa besar limbah yang telah mencemari air sawah dan anak sungai di Desa Bulak serta dampak yang telah dan akan ditimbulkan dari bahan-bahan polutan tersebut.
G. Hipotesis Penelitian
Selama turun ke lapangan, hipotesis yang dijadikan acuan yaitu penggunaan pupuk organik menuai beberapa keuntungan dibandingkan dengan insektisida, herbisida, dan pupuk non-organik yang lazim digunakan petani di Desa Bulak yang tentu saja mengandung zat-zat polutan (tidak ramah lingkungan), sehingga pemakaian jangka panjang pada bahan kimia tersebut akan dapat menyebabkan air sungai di sekitar lahan persawahan tercemar.
H. Literatur Review
Dalam penulisan ini, ada beberapa literatur yang penulis jadikan bahan analisis. Pertama, artikel yang berjudul “Water Pollution” karya John Hart. Dari tulisan tersebut, penulis mendapat informasi penting tentang pengertian pencemaran air, tipe-tipe bahan pencemar (polutan), sumber-sumber polutan, dan pengawasan negara terhadap kasus pencemaran. Kedua, buku Kimia Kelas 2, Semester 2, karya Hadi Prabawa. Dari buku ini, penulis mendapat tambahan beberapa teori tentang syarat–syarat yang dapat digunakan sebagai parameter untuk mengetahui apakah air di suatu tempat telah tercemar, terutama oleh bahan-bahan dari kimia dari sawah. Literatur ini sangat bermanfaat sekali dalam memandu penelitian untuk membuktikan teori tersebut dalam praktik penelitian. Selain kedua literatur ini, penulis mendapatkan beberapa informasi penting tentang pengertian berbagai macam pertanian serta penjelasannya dari buku Cara Mudah Membuat Kompos karya L Murbandono.
HASIL PENELITIAN DAN BAHASAN
Bulak merupakan salah satu desa di Kecamatan Rowosari, Kabupaten Kendal. Di sebelah selatan, desa ini berbatasan dengan Desa Bantaran, sebelah timur dengan Desa Kebonsari, sebelah utara dengan Desa Siwalan, sedangkan di sebelah barat berbatasan dengan Desa Gempolsewu (Tawang). Menurut data sensus dari Kelurahan Bulak sendiri, sebagian besar penduduknya bermata pencaharian sebagai petani. Hal itu terbukti desa ini dikelilingi oleh berpuluh-puluh atau mungkin beratus-ratus hektar hamparan sawah yang menghijau. Menurut salah satu warga desa yang sempat penulis wawancarai, 70-85% tanah itu ditanami padi, sedangkan sisanya berupa tanaman lain, seperti jagung, tembakau, dan bawang merah.
Dilihat dari alat-alat dan bahan yang digunakan, petani di Desa Bulak menggunakan peralatan modern dan bahan-bahan anorganik yang bersifat kimia. Hal itu terbukti dengan sudah digunakannya pestisida, herbisida, dan pupuk yang berbahan kimia. Alasan itu disebabkan luasnya lahan yang dimiliki seorang petani, sehingga akan memerlukan waktu yang lama bila di-watun . Oleh sebab itu, mereka memilih produk herbisida yang dapat membunuh gulma-gulma, seperti rumput-rumputan, eceng gondok, dan sebagainya. Kondisi seperti itu mengharuskan petani untuk berpindah dari sistem pertanian tradisional menuju sistem pertanian modern. Hal ini berdampak buruk bagi kelangsungan hidup organisme yang berada di sawah dan menurunkan kesuburan lahan yang digunakan sebagai prasarana bercocok tanam serta meningkatnya resiko pencemaran air di desa tersebut pada masa yang akan datang.
Untuk meneliti pemasalahan di atas, penulis melakukan serangkaian wawancara dengan beberapa warga Desa Bulak. Salah satu dari mereka adalah seorang petani yang menanam padi terbanyak beberapa tahun terakhir ini. Beliau sehari-hari dipanggil Pak Ri yang mulai menggunakan bahan–bahan kimia pada pupuknya kurang lebih satu tahun lalu. Dulunya beliau sempat didatangi oleh salah satu petugas dari Dinas Pertanian Propinsi Jawa Tengah. Petugas tersebut bermaksud menganjurkan kepada beliau untuk memakai herbisida sebagai pengganti untuk mencabuti rumput-rumput yang sebelumnya dengan tangan manusia (di-watun). Beliau juga mengatakan bahwa bila dibandingkan dengan penyemprotan memakai herbisida. Cara tradisional itu dapat dikatakan lebih boros karena membutuhkan biaya lebih banyak.
A. Macam – Macam Jenis Pupuk dan Pengaruhnya Bagi Lingkungan
Herbisida merupakan bahan yang dibuat untuk memberantas gulma sebagai tanaman pengganggu seperti eceng gondok (monochoria vaginalis), semanggi (marsilea crenata), rumput teki (fimbristylis miliacea), dan gulma berdaun lebar lain yang biasanya hidup di air. Menurut pengakuan Pak Ri, selain membunuh gulma sampai ke akar-akarnya, penggunaan herbisida juga bemanfaat untuk menggemburkan dan menyuburkan tanah. Hal ini pernah dibuktikan oleh beliau bersama dengan salah satu petugas dari DPU Semarang tadi. Ketika itu, mereka berdua meneliti pekembangan tanah yang ditumbuhi rumput. Waktu itu Pak Ri menyemprot rumput yang terdapat disela-sela tanaman padi dengan herbisida merek Ally PlusÃ’ (berbahan aktif metal metsulfuron 0,7 %,garam, natrium 75%, dan etil klorimuron 0,7%). Sebelumnya, tanah yang terdapat di bawah rumput tersebut sangat keras, bahkan kalau diinjak dengan kaki tidak menimbulkan bekas.
Setelah beberapa minggu, keduanya kembali mengamati perbedaan dengan sebelum disemprot dengan herbisida. Perbedaannya adalah saat sebelum herbisida disemprotkan tanahnya keras dan tumbuh rumput, tapi setelah disemprot memakai herbisida tanah menjadi subur dan rumput pun menguning lalu mati. Kemudian Pak Ri menegaskan bahwa herbisida tidak mengganggu pertumbuhan padi dan ekosistem, terutama biota di sawah. Hal itu disebabkan karena herbisida dibuat hanya untuk memusnahkan gulma saja. Penyemprotan dilakukan 2-3 kali, yaitu beberapa minggu setelah padi ditanam sampai hampir panen dengan dosis pemakaian 320-640 g/ha.
Untuk menghadapi serangan hama, petani itu menggunakan insektisida sebagai pengendali dan pemusnahnya. Insektisida merupakan bahan kimia yang dibuat khusus untuk memberantas insect (serangga) seperti wereng, kutu daun, belalang, dan ulat. Insektisida menurut Pak Ri dibedakan menjadi dua, yaitu jenis yang hanya membasmi serangga tanpa mematikan hewan lain seperti ular dan ikan apabila tercemar oleh air tersebut dan jenis yang bisa mematikan semua jenis hewan yang ada dalam ekosistem tersebut,tidak terkecuali ikan dan ular. Namun, menurut Bapak Ri, bahaya itu hanya terjadi pada petani yang belum mengetahui kesesuaian pestisida dengan hama yang dibasmi (Wawancara, 6 Maret 2009)
Selain mematikan, pestisida juga menimbulkan masalah lain yang lebih serius. Seperti ditulis John Hart, apabila hewan (konsumen tingkat 1) memakan tumbuhan (produsen) yang terkontaminasi zat kimia non-biodegrable, seperti chlordane (sejenis senyawa sintetis yang pekat dan beracun yang digunakan sebagai insektisida dan DDT (diclorodiphenyltrichloroethane), maka akan diserap ke jaringan otot atau organ binatang yang bersentuhan langsung dengan zat tersebut. Bila binatang lain (konsumen tingkat 2) memakan binatang (konsumen tingkat 1) yang terkontaminasi, maka zat tersebut akan berpindah melalui jenjang rantai makanan yang makin ke atas akan menyebabkan konsentrasi polutan yang terkontaminasi semakin meningkat. Sebagai contoh, di tubuh burung pemakan ikan ditemukan tingkat kontaminasi DDT yang mencapai 10 hingga 50 kali lebih tinggi dari pada yang terkandung dalam ikan itu sendiri. Kemudian meningkat menjadi 600 kali lebih tinggi dari plankton yang dimakan oleh ikan dan 10 juta kali lebih tinggi dari pada air tempat ikan dan plankton tersebut hidup. Dari penelitian itu dapat disimpulkan bahwa binatang yang berada pada puncak rantai makanan, yaitu manusia, adalah yang paling beresiko menderita kanker, masalah reproduksi, dan kematian akibat dari konsentrasi DDT yang menumpuk. (John Hart, 2008 )
Untuk menyuburkan tanah, beliau menggunakan pupuk. Ada berbagai macam pupuk yang pernah digunakan beliau serta berbagai keunggulan dan kelemahan dari masing-masing bahan yang terkandung didalamnya. Di antara pupuk yang beliau gunakan adalah pupuk kompos, pupuk kimia seperti urea, TSP, ZA, KCl, dan lain-lain. Selain itu, juga ada pupuk organik dalam bentuk cairan semprot. Pupuk organik yang beliau kepada penulis adalah merek Tiens Golden HarvestÃ’ yang komposisinya adalah sebagai berikut:
1. Lactobasillus sp
2. Azospirillum
3. Azotobacter sp
4. Mikroba pelarut phosphate
5. Mikroba selulotik
6. Pseudomonas
7.unsur – unsur, P = 34,70 ppm; K =1700 ppm;N = 0,04 %;Fe =44,3 ppm;Mn =0,23 ppm;Zn =3,7 ppm ( Hadi Prabawa dkk,1999).
Dua hari dari wawancara yang pertama, penulis pun mencoba mengamati sekaligus mewawancarai petani lain yang masih satu desa dengan Pak Ri, yaitu Pak Subi. Ketika penulis mengadakan pengamatan, beliau sedang berjalan menuju ke sawahnya sambil menggendong sebuah tabung sebagai tanki larutan insektisida yang digunakan untuk menyemprot hama. Menurut pengakuan yang penulis dapatkan, ternyata Pak Subi telah memakai pestisida dan pupuk yang berbahan kimia sejak dirinya menekuni pekerjaannya sebagai petani. Beliau menyebutkan beberapa merek herbisida, insektisida, dan pupuk yang sering beliau gunakan. Di antara merek insektisida yang sering dipakai adalah PolydorÃ’ (bahan aktif: Lamda sihalotrin 25 g/â„“), FuradanÃ’ 3GR (bahan aktif: karbufuran 3 %), CrownÃ’ (bahan aktif: Chypermetrin 113 g/â„“), DecisÃ’ (bahan aktif: Deltametrin 25 g/â„“), ManuverÃ’, DestokÃ’, dan RegentÃ’ (ketiga merek terakhir ini dicampur dengan pupuk). Penyemprotan dilakukan tergantung pada ada tidaknya hama pada musim tertentu. Dalam musim yang normal (tidak banyak hujan atau sering panas terik yang sangat menyengat kulit) dan kuantitas hama normal (tidak terlalu banyak atau terlalu sedikit hama), penyemprotan dilakukan antara tiga hingga empat kali per-waktu tanam sampai masa hampir panen dengan dosis sekitar 17 kg/ha. Ini berarti dalam satu tahun, insektisida yang telah disumbang kurang lebih sebanyak 1,02 – 1,36 kuintal per-satu hektar sawah.
Beberapa merek pupuk yang sering digunakan Pak Subi adalah Pusri (berbahan dasar urea) dan Phonska (berbahan dasar fosfat, natrium, dan kalium). Selain merek-merek terkenal itu, beliau juga menggunakan racikan antara fosfat dengan pupuk organik. Adapun penggunaan herbisida yang sering beliau gunakan (yang katanya juga dianjurkan oleh petugas dari dinas pertanian) yaitu Roundup, sejenis herbisida yang kemampuan pemusnahnya terhadap gulma sangat lambat namun hemat bila dibandingkan dengan herbisida merek lain yang biasanya boros untuk membasmi kuantitas gulma yang sama. Selain RoundupÃ’, beliau menggunakan herbisida lain khusus untuk membunuh semanggi atau disebut Pak Subi sebagai “semprot semanggi” (Wawancara, 5 Maret 2009). Di antara insektisida dan herbisida tersebut, salah satu diantaranya merupakan bahan yang bisa diurai kembali (biodegradable) dan cepat membusuk menjadi unsur-unsur yang tidak berbahaya. Sedangkan sebagian yang lain berupa bahan yang tidak bisa diurai (non biodegradable) sehingga tetap mengandung unsur-unsur yang berbahaya dalam jangka waktu yang lama. Bila terkena gelontoran air hujan atau air irigasi, maka unsur-unsur berbahaya itu akan terserap ke dalam tanah (mencemari air tanah) dan akan menuju ke sungai-sungai atau danau-danau (mencemari air permukaan tanah) (John Hart, 2008).
Dalam sistem pertanian tradisional, sekarang ini mulai dipergunakan pupuk buatan pabrik, pupuk sintesis, perangsang tumbuh, antibiotika, dan lain lain yang membuat produksi pangan bisa meningkat, tetapi di sisi lain, hadirnya produk–produk hasil pabrik tersebut dapat mencemari lingkungan dan mengganggu kesehatan. Selain itu, pertanian konvensional banyak tergantung pada bahan kimia yang harganya mahal, bahkan kadang-kadang langka dipasaran.Ketergantungan ini menyebabkan produksi merosot dan biaya produksi menjadi tinggi (tidak sesuai dengan harga beli).
Saat ini dunia pertanian tidak lepas dari penggunaan bahan kimia, baik untuk pemupukan, pemacu pertumbuhan, dan perekat, perata, maupun pengendali hama dan penyakit. Namun, apakah sudah memikirkan akibat dari pemakaian bahan-bahan tersebut? Bahan kimia umumnya merupakan bahan beracun sehingga bila digunakan dapat meracuni tanah, tanaman, udara, air, dan lingkungan hidup lainnya. Karena meracuni lingkungan hidup, maka berpengaruh kepada kesehatan manusia, misalnya gangguan pada paru-paru, jantung, ginjal, hati, darah, alat vital, serta timbul penyakit kanker, dan disfungsi seksual.
Selain beracun, harga pupuk dan pestisida juga semakin mahal. Terlebih apabila subsidi dari pemerintah dicabut. Keadaan ini menjadi dilema bagi para petani: bila tidak dipupuk dan disemprot dengan bahan kimia, produksi akan merosot. Sedangkan bila dipupuk dan disemprot, hasil yang diperoleh tidak sebanding dengan biaya produksi. Walhasil, petani pun menjadi rugi. Bagaimana pemecahannya? Jawabannya sangat sederhana, yaitu dengan sistem pertanian organik. Permasalahan yang dihadapi dalam pertanian konvensional dapat diselesaikan dengan mengembangkan sistem pertanian organik. Konsep pertanian organik berawal dari pemikiran bahwa hutan alam yang terdiri dari banyak ribuan jenis tumbuhan bisa hidup subur tanpa campur tangan manusia. Kondisi hutan yang memberi makanan pada tanaman dan melindunginya dengan temperatur yang cocok untuk binatang besar maupun kecil, serangga, cendawan, bakteri, dan makhluk hidup lainnya. Kotoran burung atau binatang lainnya serta mulsa dari daun-daun secara perlahan akan terurai menjadi makanan (pupuk) bagi tumbuhan. Jika hutan saja bisa subur dengan cara alami, maka pasti lahan pertanian juga bisa demikian.. Dengan pemakaian bahan organik, ketergantungan terhadap bahan kimia dapat dikurangi, karena bahan organik umumnya bisa didapat dari lingkungan sekitar lahan pertanian. Selain itu, dampak positifnya adalah lingkungan hidup di pertanian organik lebih bersih, subur, dan sehat (eco-friendly).
Prinsip pertanian organik pada dasarnya adalah berteman akrab dengan alam, tidak mencemari dan merusak lingkungan hidup. Alasan utama penggunaan bahan kimia adalah untuk menyuburkan tanah dan memberantas hama serta penyakit. Padahal, melalui sistem pertanian organik, dua masalah itu dapat diatasi. Untuk menyuburkan tanah, petani bisa memanfaatkan tanaman famili leguminosae, seperti kacang-kacangan, selain pupuk kandang tentunya. Tanaman jenis ini mempunyai bintil-bintil akar yang mampu menambat nitrogen yang dapat diserap oleh tanaman. Sementara sebagai pengganti pestisida, petani dapat menggunakan antara lain nimba, tembakau, brotowali, awar-awar, gadung, kelor, mindi, ketepeng kebo, mengkudu, mahoni, tuba teprosia, papaya, johar, buah lerak, sirsak, srikaya, dan jarak kepya. Pestisida alami ini dapat dengan mudah dibuat, tidak mencemari udara, tidak berbahaya, dan tidak meracuni konsumen karena 100% bersifat bio-degradable. Terlebih lagi, tanaman-tanaman ini mudah diperoleh dan dibudidayakan (macam-macam pestisida organik dan cara pembuatannya dapat dilihat di tabel lampiran).
B. BERBAGAI KELEBIHAN DAN KELEMAHAN PERTANIAN ORGANIK DAN KIMIA
Di bawah ini merupakan kelebihan dan kekurangan dari penggunaan sistem pertanian organik:
1. Kelebihan
1.1 Tidak menggunakan pupuk atau pestisida berbahan kimia, sehingga tidak menimbulkan pencemaran lingkungan, baik pencemaran tanah, air, maupun udara, serta produknya tidak mengandung racun, sehingga aman dikonsumsi oleh masyarakat
1.2. Tanaman organik mempunyai rasa yang lebih manis dibandingan tanaman non organik
1.3 Produk tanaman organik harganya lebih mahal.
2 Kekurangan
2.1 Kebutuhan tenaga yang diperlukan lebih banyak dibandingkan dengan pertanian modern, terutama untuk pengendalian hama dan penyakit. Umumnya, pengendalian hama dan penyakit dalam pertanian organik masih dilakukan secara manual. Penggunakan pestisida alami membutuhkan waktu lama karena bahan–bahan tersebut tidak banyak dijual dipasaran.
2.2 Bentuk fisik tanaman organik kurang bagus, seperti berukuran kecil, dan daun berlubang-lubang.
Kebutuhan unsur hara setiap tanaman berbeda-beda. Kebutuhan tersebut dapat digolongkan menjadi tiga, yaitu dalam jumlah banyak (makro), sedang (madya), dan sedikt (mikro). Yang termasuk unsur hara makro yaitu: Nitrogen (N), Fosfor (P), Kalium (K), Karbon (C), Hydrogen (H), dan Oksigen (O). Sedangkan unsur kimia yang dibutuhkan dalam jumlah menengah yaitu; Kalsium (Ca), Magnesium (Mg), dan Belerang (S). Adapun unsur hara yang dibutuhkan dalam jumlah mikro yaitu besi (Fe), tembaga (Cu), Seng (Zn), Mangaan (Mn), Boron (Br), Molibdenum (Mo), Klor (Ch), Kobalt (Co), dan Silisium (Si). Jumlah unsur hara dalam tanah umumnya sedikit, namun unsur tersebut dapat ditambahkan dengan pemberian pupuk organik. Penyerapan unsur hara oleh tanaman dari derajat keasaman tanah (pH–power of hydrogen). Untuk mengetahui atau mengukur derajat pH tanah dapat digunakan alat yang disebut pH meter.
Pupuk alami yang akrab dengan masyarakat petani adalah kompos. Kompos merupakan hasil fermentasi atau hasil dekomposisi bahan organik seperti tanaman, hewan, atau limbah organik. Secara ilmiah, kompos dapat diartikan sebagai partikel tanah yang bermuatan negatif, sehingga dapat dikoagulasikan oleh kation dan partikel tanah untuk membentuk granula tanah. Kompos memiliki peranan yang sangat penting bagi tanah, karena dapat mempertahankan dan meningkatkan kesuburan tanah melalui perbaikan sifat kimia, fisik, dan biologinya (L. Murbandono, 1982). Penambahan kompos ke dalam tanah dapat memperbaiki struktur, tekstur, dan lapisan tanah, sehingga akan memperbaiki keadaan aerasi, drainase, absorbsi panas, kemampuan daya serap tanah terhadap air, serta mengendalikan erosi tanah. Kompos juga dapat menggantikan unsur hara tanah yang hilang akibat terbawa oleh tanaman ketika dipanen atau terbawa aliran air permukaan (erosi).
Dari hasil perhitungan secara nasional diperoleh bahwa total produksi kompos nasional saat ini baru mencapai 10% dari potensi kebutuhan pertanian dalam negeri diperkirakan mencapai 11 juta ton per tahun. Namun di sisi lain, sejumlah produsen kompos mendapat kesulitan untuk memasarkan produknya. Keadaan ini disebabkan karena sebagian petani di Indonesia masih mengandalkan pupuk non-organik (urea dan TSP) untuk menyuburkan tanah (L. Murbandono, 1982). Keengganan petani menggunakan pupuk non-organik disebabkan karena merepotkan, tidak praktis, harus dalam jumlah besar, dan kadang- kadang menimbulkan bau busuk, serta pengaruh terhadap tanaman tidak terlalu tampak terlihat. Penerapan pupuk organik memang bersifat jangka panjang. Hal inilah yang merupakan kebalikan dari sifat pupuk anorganik yang penggunaannya praktis dan cepat menunjukkan hasil. Selain itu, juga belum ada standarisasi mutu untuk produk kompos.
Setelah diamati dan dicocokkan dengan literatur, ternyata terdapat beberapa perbedaan antara pupuk organik dan anorganik, yaitu:
a. Sifat Kompos
1. Mengandung unsur bahan makro dan mikro yang lengkap walaupun dalam jumlah yang hanya sedikit
2. Dapat memperbaiki struktur tanah dengan cara sebagai berikut:
2.1. Menggemburkan dan meningkatkan ketersediaan bahan organik di dalam tanah
2.2. Meningkatkan daya serap tanah terhadp air dan zat hara
2.3. Memperbaiki kehidupan organisme di dalam tanah dengan cara menyediakan bahan makanan bagi mikroorganisme tersebut
2.4. Memperbesar daya ikat tanah berpasir, sehingga tidak mudah terpencar
2.5. Memperbaiki drainase dan tata udara di dalam tanah
2.6. Membantu pembentukan proses pelapukan bahan mineral
2.7. Memperbaiki tanah dari kerusakan yang disebabkan oleh erosi
2.8. Meningkatkan kapasitas tukar kation.
3. Beberapa jenis tanaman yang menggunakan kompos lebih tahan terhadap serangan penyakit
4. Menurunkan aktifitas organisme tanah yang merugikan.
b. Sifat Pupuk Non-Organik
1. Hanya mengandung satu atau beberapa unsur hara, tetapi dalam jumlah banyak
2. Tidak dapat memperbaiki struktur tanah, tetapi penggunaannya dalam jangka waktu yang panjang dapat membuat tanah menjadi keras
3. Sering membuat tanaman manja sehingga rentan terhadap serangan penyakit (L. Murbandono, 1982).
Pengaruh kompos terhadap sifat fisik tanah ternyata lebih baik dibandingkan dengan pengaruh pupuk kimia. Kompos dapat memperbaiki sifat fisik tanah. Tanah lempung berat akan menjadi cepat jenuh karena air, sehingga akan menghalangi udara dan air yang masuk. Penambahan kompos pada tanah tersebut akan membantu melonggarkan partikel tanah yang padat. Yaitu dengan cara membuka pori-pori tanah yang merupakan saluran atau jalan udara dan air. Humus yang terdapat di dalam kompos dapat memecah tanah liat menjadi tanah yang lebih remah. Dengan penambahan kompos, struktur tanah liat menjadi lebih remah dan akan terbentuk lapisan tipis air yang sehingga mudah diserap akar.
Perbedaan antara tanah liat dan tanah pasir adalah ukuran partikelnya. Tanah liat terbentuk dari partikel–partikel yang sangat kecil dan saling terkait antara satu dengan yang lain. Sedangkan tanah berpasir terdiri dari partikel–partikel yang cukup besar, sehingga strukturnya berpencar dan tidak dapat mempertahankan kelembaban serta cenderung meloloskan diri terlalu cepat. Keadaan ini dapat diperbaiki dengan pemberian kompos. Dengan kompos, partikel tanah akan disatukan dalam bentuk yang lebih besar, sehingga dapat menahan air lebih banyak dalam bentuk lapisan permukaan (Hadi Prabawa dkk,1992).
KESIMPULAN DAN SARAN
A. KESIMPULAN
Setelah mengamati keadaan air serta tanah di Desa Bulak, penulis membuat perhitungan sederhana. Dalam satu tahun, air sawah di desa ini selalu tercemar dengan disumbang oleh sekitar 1,02 – 1,36 kuintal insektisida per satu hektar sawah, 1,28 – 2,56 kg (2 kali penyemprotan) atau 1,92 – 3,84 kg herbisida per satu hektar sawah (3 kali penyemprotan) serta kurang lebih 20 kuintal pupuk organik . Jumlah tersebut mungkin tidak pernah terbayangkan oleh petani, sehingga mereka selalu menggunakannya tanpa ada rasa salah dan berdosa. Padahal di balik semua itu, kehidupan biota sawah semakin terancam. Dengan adanya pencemaran tersebut, ekosistem yang terdapat di sawah juga ikut terkontaminasi. Jika dikonsumsi warga (air, tanaman, ataupun ikan yang hidup di tempat tersebut), maka akan berdampak buruk bagi kondisi kesehatan, terutama meningkatnya resiko penyakit kanker, masalah reproduksi, dan angka kematian yang tinggi. Bagaimanapun, pencemaran air di desa ini harus segera diatasi. Oleh karena itu, penulis menghimbau kepada para petani untuk ikut serta dalam upaya mengurangi frekuensi pencemaran air di sawah mereka.
Bagi penulis, salah satu tindakan yang dapat dilakukan untuk mengurangi frekuensi pencemaran tanah pertanian oleh zat – zat kimia berbahaya adalah dengan kembali pemakaian pupuk ramah lingkungan yaitu pupuk organik. Selain mengurangi resiko terkena kanker (disebabkan mengkonsumsi bahan makanan yang telah terkontaminasi bahan – bahan kimia pupuk organik), penggunaan pupuk alami juga dapat meningkatkan penghasilan. Menurut informasi yang penulis dapat dari seorang penjual dan pengecer beras di Pasar Bulak Kecamatan Rowosari, Kendal, harga beras organik dibandingkan dengan beras biasa jauh lebih tinggi. Jika harga beras biasa berkisar antara Rp.5000 – Rp.8000 per kilogram, maka harga beras organik bisa mencapai Rp.12.000 per kilogram. Oleh karena itu, alangkah baiknya dari detik ini para petani mulai berpikir realitis, apabila ingin menggunakan bahan-bahan kimia
B. SARAN
Walaupun air merupakan salah satu sumberdaya alam yang dapat diperbaharui, namun apabila sumber air tercemar, maka akan terjadi penurunan kualitas dan kuantitas air bersih. Kondisi ini mengharuskan kita untuk tidak mencemari sungai, terutama bagi mereka yang bertempat tinggal di pegunungan agar sebisa mungkin menggunakan air dengan sebaik-baiknya. Karena dampak yang ditimbulkan juga berpengaruh pada wilayah yang ada dibawahnya (terutama daerah perkotaan).
Penulis juga menghimbau kepada Dinas Pertanian untuk lebih ketat dalam mengawasi pemasokan pupuk kepada petani, bukan malah menganjurkan mereka untuk mencoba memakai yang berbahan kimia. Apabila para petani tidak bisa langsung berpindah ke pupuk organik, minimal mereka mengurangi dosis pemakaian pupuk kimia. Walaupun mungkin pupuk organik lebih menghemat biaya, tetapi mereka juga harus berpikir kedepan tentang kelestarian ekosistem yang ada disekitarnya.
Selain itu, pemerintah juga harus ikut membantu dalam hal pengadaan bahan baku kompos. Agar produksi kompos di negara kita dapat mengimbangi jumlah tanaman yang membutuhkannya maka bagi penulis, perlu adanya kebijakan pengurangan subsidi pupuk kimia dan mengalihkan subsidi itu ke pertanian organik. Pemerintah juga harus terus memberi penyuluhan tentang kelebihan penggunaan pupuk organik dan kerugian pemakaian pupuk kimia. Penyebaran berbagai artikel dan selebaran mengenai pupuk organik juga merupakan upaya yang tepat yang dapat dilakukan pemerintah dalam rangka megurangi jumlah frekuensi pencemaran oleh pupuk kimia.
Akan tetapi, walaupun slogan-slogan untuk menggunakan penggunaan pupuk organik telah digembar-gemborkan, revolusi pertanian sulit terwujud apabila para petani yang berperan sebagai subyek dalam masalah tersebut tidak ikut serta atau acuh tak acuh terhadap gerakan menuju sistem pertanian yang ramah lingkungan. Dengan kata lain, sistem bercocok tanam yang mengutamakan kesehatan dan tidak mengandung zat–zat patogenik hanya akan menjadi sebuah angan – angan serta lamunan kosong yang kita sendiri tidak tahu kapan berakhirnya. Oleh karena itu, apabila kita termasuk salah seorang diantara sekian banyak orang yang mengingikan lingkungan yang bersih dari berbagai macam bahan kimia, tentunya pertanian organik merupakan langkah yang wajib dilakukan.
Menurut hemat penulis, cara praktis yang dapat ditempuh agar tujuan di atas dapat tercapai adalah dengan melakukan hal – hal dibawah ini :
  1. Memupuk dengan kompos, pupuk kandang, atau pupuk guano (pupuk yang dibuat dari kotoran kelelawar).
  2. Memupuk dengan pupuk hijau, seperti orok-orok (Crotalaria Juncea), tephrosia candida, tephrosiavogeli, maupun batang, akar, dan daun kacang – kacangan , turi serta gamal.
  3. Memupuk dengan limbah yang berasal dari kandang ternak dan pemotongan hewan.
  4. Mempertahankan dan melestarikan habitat tanaman dengan pola tanam polikultur
DAFTAR PUSTAKA
Hart, John, “Water Pollution”, dalam Encarta Encyclopedia, Microsoft Corporation
Prabawa, Hadi, dkk. 1995. Ilmu Kimia SMU untuk kelas 2 semester 2, Jakarta: Erlangga.
Murbandono, L., 1982. Cara Mudah Membuat Kompos, Jakarta: Penebar Swadaya,1982

0 komentar:

Posting Komentar